BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Dalam psikologi, teori belajar selalu dihubungkan dengan stimulus-respons dan teori-teori tingkah laku yang menjelaskan respons makhluk hidup dihubungkan dengan stimulus yang didapat dalam lingkungannya. Proses yang menunjukkan hubungan yang terus-menerus antara respons yang muncul serta rangsangan yang diberikan dinamakan suatu prosess belajar (Tan, 1981:91).
Pada bab sebelumnya kita telah melihat bahwa mempelajari permainan adalah peranan penting dalam kebiasaan binatang dan manusia. Ini jelas untuk memahami naluri manusia atau naluri simpanse, monyet, jerapah, tikus, merpati dan binatang lainnya kita harus mengetahui bagaimana kebiasaan di ubah oleh pengalaman, kita harus mengerti pembelajarannya. Tapi kita juga harus mengerti batas-batas dari pembelajaran. Untuk sementara pembelajaran memberi perbedaan dalam kebiasaan yang membedakan manusia dengan simpanse dan antara satu orang dengan orang lain, itu adalah batas apa yang manusia dan simpanse dapat pelajari di bab ini kita akan mendiskusikan beberapa pembatasan tersebut:
1. Karakter fisik (Physical Characteristics)
2. Pembelajaran sikap tidak diwarisakan (Nonheritability of learning Behavior)
3. Keturunan dan kemampuan belajar (Heredity and Learning Ability)
4. Kerusakan neurologis dan Belajar (Neurological Damage and Learning)
5. Periode yang Kritis (Critical Periods)
6. Kesiapan dan belajar (Preparedness and Learning)
BAB II
PEMBAHASAN
I. Keterbatasan dalam Pembelajaran
1. Karakter Fisik (Physical Characteristics)
Ikan tidak dapat melompati tali, manusia tidak dapat bernafas di dalam air, sapi tidak dapat menggulung seperti ular. Struktur dari tubuh organisme membuat jenis kebiasaan tertentu mungkin dan jenis lainnya tidak mungkin. Hal ini dapat menjadi batasan perubahan prilaku setiap mahluk hidup dalam proses belajar. Misalnya, penciuman anjing memungkinkan untuk menemukan objek tersembunyi dari pandangan. Sama, seperti elang memungkinkan untuk menemukan objek tersembunyi dari jarak jauh, sedangkan seseorang tidak akan mampu untuk melihat koin yang jauh sama sekali.
Dalam kondisi tertentu, maka anjing dan elang akan belajar lebih cepat daripada manusia. Segala macam sifat fisik menetapkan batas pada apa yang organisme dapat pelajari. Beberapa tahun yang lalu, berbagai upaya dilakukan untuk mengajari simpanse berbicara (Hayes, 1951;Kellogg, 1968). Upaya ini hampir seluruhnya kegagalan dan meyakinkan banyak orang bahwa simpanse tidak bisa belajar berbicara, rupanya bahasa adalah salah satu yang membedakan kita dari makhluk lain.
Kemudian Allen dan Beatrice Gardner (1969) mulai mengajar washoe (simpanse betina), menggunakan bahasa isyarat, kurang dari 2 tahun simpanse bisa mempelajari 30 tanda-tanda. Sekarang simpanse sudah 7 tahun, kata-katanya sudah lebih dari 200. Sejak upaya Allen dan Beatrice beberapa penelitian juga mencoba untuk mengajar bahasa isyarat kepada gorilla (Patterson 1978;1987) dan orang utan dan (Shapiro, 1982). Akan tetapi, mereka mengalami kesulitan dalam belajar berbicara, kesulitan mereka dalam belajar untuk berbicara dikarenakan sebagian struktur anatomi yang tidak memadai. Manusia juga akan memiliki kesulitan belajar untuk berbicara jika mereka memiliki jenis struktur vokal yang simpanse miliki.
Pemahaman tentang belajar adalah penting untuk memahami perilaku, khususnya perilaku manusia, tetapi ada batasan pembelajaran yang dapat capai. struktur fisik organisme menetapkan batasan pada apa yang dapat dipelajari.
2. Pembelajaran Sikap tidak Diwariskan (Nonheritability of learning Behavior)
Pembatasan nyata lain dari pembelajaran adalah pembelajaran sikap tidak di wariskan, refleks dan pola aksi tetap diteruskan dari generasi ke generasi, tetapi perilaku yang diperoleh individu melalui belajar mati dengan sendirinya. Pembelajaran sikap kita setelah lahir melalui orang tua berdasarkan pada pengalaman orang tua sendiri. Para anak singa harus belajar untuk menangkap kijang seperti orang tuanya lakukan, tikus harus belajar untuk menghindari air, anak harus belajar untuk melihat lalu lintas sebelum menyeberang jalan. Hal ini dipelajari melalui pengalaman belajar dari orangtuanya.
Pendapat tentang kebiasaan belajar adalah tidak selalu diajarkan itu tidak selalu benar. Nyatanya tidak berapa lama banyak orang beberapa peneliti percaya bahwa percobaan tentang pembelajaran bagaimanapun manfaat keturunan dari organisme, ide ini di cetuskan oleh Jean de Lamarck. Lamarck, menulis pada awal 1800-an, Teori Karakter fisik diperoleh dari adaptasi yang diwariskan dari generasi ke generasi dan merupakan akibat dari lingkungan.
Lamarck mencoba untuk menjelaskan sangat mengadaptasi keistimewaan fisik dari banyak binatang, contoh burung crane menemukan makanan dengan menyebrangi air yang dangkal, ini sangat cocok karena burung crane memiliki kaki yang panjang, kaki tersebut sangat ideal bagi burung di habitatnya, atau contohnya jerapah, binatang yang tinggal di daratan afrika yang makan dari daun-daun pohon ( leher jerapah yang panjang guna untuk mencapai pucuk daun yang tinggi). Hewan jerapah, akan ngikuti induknya memakan tumbuhan yang dimakan oleh induknya dari pohon yang kecil sampai pohon itu meninggi dari waktu ke waktu jerapah itu pasti makan pohon yg sama dan akhirnya pohon itu tinggi sampai sikap jerapah itu tetap sama yang membuat lehernya panjang.
William McDougall psikolog terkemuka, mengadaptasi teori Lamarck menyatakan bahwa ketika pengalaman memodifikasi perilaku organisme, juga memodifikasi gen dalam beberapa cara. Menurut William McDougall, jika setiap generasi berturut-turut belajar bahasa latin, maka setiap anak akan belajar lebih mudah dari orang tuanya.
Ilmuan lainnya meragukan hasil penelitian yang dilakukan oleh William McDougall. Mereka melakukan percobaan dengan control yang lebih baik dari pada McDougall, dan memenukan bukti bahwa generasi menjadi indicator dari keberhasilan hewan belajar lebih mudah dari pada nenek moyang mereka. Pembelajaran yang tidak diwariskan akan menjadi batasan dalam proses pembelajaran. Tentunya, siapa saja yang telah mengalami kesulitan menguasai parkir paralel atau menghafal bentuk-bentuk kata kerja francis akan setuju bahwa kemampuan untuk manfaat dari pengalaman belajar dari orang tua seseorang akan sangat membantu.
Mungkin Jika kita tidak mewarisi perilaku yang dipelajari, kita tidak akan sepenuhnya puas dengan hasilnya. Misalnya, nenek moyang lahir sebagai pemburu dan pengumpul, mungkin mereka tidak akan menemukan pertanian, ini merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Nilai pembelajaran memungkinkan kita untuk beradaptasi dengan perubahan di lingkungan kita. Pembelajaran sikap tidak dapat diwariskan secara langsung tetapi pembelajaran itu dibantu oleh pengalaman dari orangtua.
3. Keturunan dan Kemampuan Belajar (Heredity and Learning Ability)
Jelas bahwa ada perbedaan yang menonjol dalam kemampuan belajar individu dalam spesies tertentu, dan perbedaan ini juga sebagian karena faktor keturunan. Sedangkan peranan keturunan dalam kemampuan belajar adalah kontroversi, tidak ada keraguan bahwa yang memegang peranan penting. Ada bukti bahwa keturunan memainkan peran penting dalam kemampuan belajar manusia. Studi tentang kembar identik yang dipisahkan setelah lahir yang mana si kembar biasanya memiliki IQ yang sama, meskipun dipelihara dalam lingkungan yang berbeda (Newman et al.,1937).
Anak-anak adopsi, lebih mungkin untuk menyerupai orang tua biologis mereka dalam kecerdasan bawaan dari pada orang tua angkat mereka (Skodak & Skeels,1949). Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa lingkungan tidak penting dalam menentukan kemampuan belajar, tetapi gen memainkan peran dalam apa yang kita pelajari. Peranan dari keturunan dalam pembelajaran juga memiliki kontraversi tetapi terdapat bukti yg kuat bahwa perbedaan genetika memberikan suatu perbedaan kontribusi sebagaimana layaknya perbedaan dalam satu kelompok yg sama.
4. Kerusakan Neurologis dan Belajar (Neurological Damage and Learning)
Kerusakan Neurologis menjadi keterbatasan dalam belajar yang merupakan pengaruh dari lingkungan. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu perkembangan saraf, menghasilkan kemampuan belajar yang terbatas (Hawkins, 1983). Sering kerusakan tidak terlihat saat kelahiran dan dapat diungkapkan hanya ketika anak masuk sekolah. Neurotoksin, zat yang merusak jaringan syaraf, merupakan ancaman terhadap kemampuan belajar setelah kelahiran, khususnya pada masa bayi dan anak usia dini. Salah satu neurotoksin paling meresap adalah timbal, umumnya ditemukan di cat lama dan air minum.
Cedera kepala juga dapat mengurangi kemampuan belajar (Chance, 1986). Ini mungkin tampak faktor signifikan, tetapi pelecehan anak cukup luas dan sering melibatkan pukulan ke kepala atau ketakutan pada anak. Penyakit dan kekurangan gizi terutama selama perkembangan janin, bayi dan anak usia dini, juga dapat mencegah perkembangan neurologis normal dan mengakibatkan berkurangnya kemampuan dalam belajar. Kerusakan saraf karena penyakit, kekurangan gizi, tarauma kepala, dan zat beracun dapat memiliki efek mendalam pada proses pembelajaran. Kerusakan otak cenderung mengurangi kemampuan untuk memanfaatkan pengalaman belajar.
5. Periode kritis (Critical Periods)
Mahluk hidup tampaknya perlu belajar dari perilaku berbeda pada satu titik dalam kehidupan mereka, tahap untuk belajar optimal yang disebut sebagai periode kritis. Misalnya, banyak hewan sangat membutuhkan ibu mereka selama periode kritis segera setelah lahir. Jika ibu tidak ada, anak itu akan menjadi melekat pada setiap obyek bergerak, apakah hewan lain objek yang sama, sebuah obejek mekanik, atau seorang manusia.
Konral Lorenz (1952) adalah orang yang pertama untuk mempelajari fenomena ini, yang disebut imprinting. Lorenz menemukan bahwa jika anda melihat anak angsa yang baru menetas dari inkubator, anda secara tidak sengaja menjadi orang tuanya, anak ayam akan mengikuti anda dan mengabaikan induknya.
Imprinting bukan satu-satunya bukti untuk periode kritis. Jhon Paul Scott (1958) telah menunjukkan bahwa perilaku sosial anjing bergantung pada pengalaman selama periode kritis tertentu. Misalnya, jika anak anjing adalah menjadi hewan peliharaan rumah yang bagus, anjing memiliki kontak dengan orang-orang antara 3 dan 12 minggu. Jika anjing benar-benar kehilangan kontak dengan manusia selama periode ini maka akan berperilaku seperti binatang liar, dan takut dengan manusia.
Harry dan Margaret (Harlow, 1958; Harlow & Harlow, 1962a, 1962b) melakukan penelitan yang sama dengan bayi monyet. Mereka membesarkan bayi monyet dalam ruang isolasi, dengan diberi makan oleh ibu pengganti. Bayi menjadi sangat melekat pada ibu pengganti berpegang teguh kepada mereka selama berjam-jam. Jika bayi monyet menjadi takut, bayi monyet akan lari ke "ibu" untuk perlindungan. Kemudian, ketika monyet ini diletakkan di kandang dengan monyet lainya yang biasanya dipelihara, mereka ketakutan. mereka akan lari ke sudut kandang dan menggulung menjadi bola, kadang-kadang mengisap jari. Tampaknya ini merupakan bagian awal kehidupan mereka dan merupakan periode kritis untuk memperoleh keterampilan sosial.
Tidak jelas apakah ada periode kritis dalam pembelajaran manusia. Ada kemungkinan bahwa ada periode kritis pada masa bayi atau masa kanak-kanak dini untuk belajar peduli tentang orang lain (David et al, 1988). Serta ada bukti bahwa 12 tahun pertama kehidupan mungkin merupakan periode kritis untuk mencari jati diri (Harley & Wang 1994). Namun bukti periode kritis pada orang umumnya jauh lebih lemah dari bukti untuk periode seperti pada hewan.
Mahluk hidup siap mempelajari hal-hal tertentu pada tahap tahap perkembangan mereka. Misalnya pada saat menghadapi ancaman mahkluk hidup tersebut bisa memainkan peranan penting dalam pembentukan prilaku kelompok (sosial). Tidak terdapat kejelasan apakah manusia tersebut memerlukan tahap kritis atau tidak untuk pembelajaran dalam perkembangan manusia. Ketika tedapat tahap ancaman tersebut, mereka menempatkan batas kesulitan pada pembelajaran. Kesempatan untuk belajar mungkin terjadi namun sekali dalam seumur hidup.
6. Kesiapan dan Belajar (Preparedness and Learning)
Penelitian dimulai pada tahun 1960, dimana hewan belajar lebih lambat dalam situasi tertentu, bahkan sama sekali sedikit bodoh dalam situasi tertentu. Keller dan Mario Breland (1961) menemukan pertama kali fenomena ini. Keller dan Mario Breland, melatih 100 hewan untuk tampil di acara TV dan Film, serta promosi iklan. Terkadang, Breland mengalami kesulitan untuk melatih hewan dalam kondisi yang mudah. Misbehavior of Organism atau prilaku aneh dari mahluk hidup dalam melakukan kegiatan. Misalnya, Breland dan Breland (1968) menyatakan bahwa beberapa binatang sulit dilatih melakukan kondisioning operan. Misalnya, seekor raccoon sulit dilatih untuk memasukkan uang koin kedalam celengan (tempat menabung) meskipun setiapkali dia memasukkan koin itu dia mendapat makanan sebagai hadiah. Biasanya, raccoon akan menggosok-gosok koin itu dan tidak akan memasukkannya kedalam celengan (1968, h. 288)
Teori Breland menyatakan organism ada yang siap menerima pelajaran dengan cepat dan lambat dalam satu titik tertentu. Kecendurangan bawaan membatasi dalam belajar. Melalui penelitian Paul Brown dan Herbert (1969) serta Robert Epstein and Skinner (1980) menggunakan merpati dalam sangkar. Merpati diberikan sinyal dengan menggunakan cahaya, cahaya digunakan untuk mencari makan. Ketika cahaya itu dimatikan merpati tidak melakukan kegiatan apapun. Artinya, hewan akan mengikuti cahaya yang bergerak untuk mendapatkan makanan. Phenomena ini disebut dengan sign tracking (tanda pelacak) telah diujicoba kepada beberapa species dan manusia.
Hewan memiliki kecenderungan untuk memiliki cara tertentu, dan ini berarti mereka akan belajar beberapa hal dengan sangat mudah sambil belajar hal-hal lain dengan kesulitan terbesar. Martin Seligman (1970) ini terlihat jelas bahwa kebanyakan belajar berdasarkan pada apakah makhluk hidup siap secara genetik, tidak siap secara genetik atau berlawanan kesiapan.
Martin Seligman di dalam teorinya yang dikenal dengan istilah biological preparedness menyatakan ketakutan yang menjangkiti tergantung dari relevansinya sang stimulus terhadap nenek moyang atau sejarah evolusi manusia, atau dengan kata lain ketakutan tersebut disebabkan oleh faktor keturunan. Misalnya, mereka yang takut kepada beruang, nenek moyangnya pada waktu masih hidup di dalam gua, pernah diterkam dan hampir dimakan beruang, tetapi selamat, sehingga dapat menghasilkan kita sebagai keturunannya. Seligman menyatakan bahwa kita sudah disiapkan oleh sejarah evolusi kita untuk takut terhadap sesuatu yang dapat mengancam survival kita.
Sligman (1970,1971) telah mengusulkan bahwa fobia memberikan bukti tambahan kesiapan manusia. Obyek tertentu jauh lebih besar kemungkinannya untuk menjadi rangsangan fobia. Misalnya saja, gadis kecil yang sedang bermain di taman melihat ular, gadis itu berlari ke dalam mobil dan tangannya terluka. Pada kenyataanya ular tidak melukai tanganya, ternyata secara biologis orang lebih takut ular tetapi tidak takut mobil. Dalam kasus ini phobia lebih membuat masuk akal.
Sama dengan penelitian tentang si kembar, konsep dari kesiapan. K.S.Kendler and Colleagus (1992) mempelajari tentang gadis kembar ketakutan bersosialisasi, dan takut akan keramaian hal ini merupakan genetika dasar. Meskipun tidak dilahirkan dengan phobia, tetapi beberapa orang mungkin memiliki kesiapan genetik untuk itu. Hal ini tergantung dari setiap individu dalam belajar berdasarkan pada kesiapan secara genetik.
BAB II
KESIMPULAN
Keterbatasan membuat pembelajaran menjadi lemah, dengan adanya belajar akan dapat mengatasi masalah yang serius. Karakter fisik menjadi batasan dalam proses belajar, yang mana karakter fisik membatasi pada apa yang mahluk hidup dapat pelajari. Nonheritability pembelajaran menjadikan keterbatasan, karena pembelajaran merupakan hasil dari pengalaman orang tua terdahulu. Perbedaan genetika memberikan kontribusi dalam proses belajar seseorang, tetapi hasil belajar tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh keturunan.
Kerusakan syaraf karena penyakit, kekurangan gizi, trauma kepala, dan zat beracun dapat memiliki efek pada proses pembelajaran dan cendrung mengurangi kemampuan belajar. Periode Kritis dalam kehidupan makhluk hidup menjadikan batasan dalam pembelajaran yang dapat dipelajari. Teori biological preparedness menyatakan bahwa kita sudah disiapkan oleh sejarah evolusi kita untuk takut terhadap sesuatu yang dapat mengancam survival kita. Meskipun tidak dilahirkan dengan phobia, tetapi beberapa orang mungkin memiliki kesiapan genetik untuk itu.
Hal ini tergantung dari setiap individu dalam belajar berdasarkan pada kesiapan secara genetik. Dengan adanya belajar akan dapat mengatsi masalah dan keterbatasan. Permasalahan yang timbul kecendrungan berasal dari tingkah laku, bukan dari teknologi atau alam. Tingkah laku manusia sangat sulit, dan rumit dan solusi dari masalah social cendrung lambat. Hal ini dapat dicegah dan diatasi paling tidak dengan cara mengubah behavior melalui proes belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Chance, Paul. 2003. Learning and Behavior. 5 th edition. South Melbourne, Victoria: Nelson Thomson Learning.
Karakteristik dan perbedaan individu. Diambil pada tanggal 16 oktober 2010. http://pesertadidik.netfirms.com/pokok_02.html
0 Response to "Keterbatasan dalam Belajar (Teori Pembelajaran)"
Posting Komentar